HIV memang melemahkan kekebalan tubuh seseorang, tetapi virus ini tidak mengurangi martabat saya sebagai seorang perempuan. Saya hidup dengan HIV selama 10 tahun, pernah kehilangan anak yang terinfeksi HIV dari saya. Melewati trauma kemudian berusaha bangkit dari semua keterpurukan itu. Setahun setelahnya baru berani merencanakan kehamilan yang akhirnya bisa melahirkan anak yang sehat tanpa terinfeksi HIV. Demikian juga suami dinyatakan negatif HIV. Kini, saya mulai berbagi pengalaman sebagai ODHIV untuk edukasi ke masyarakat. Inilah saya perempuan HIV positif yang berdaya.
Kisah ini dimulai pada Mei 2013 di RSUD Sleman. Hari itu tak pernah terlupakan, saat dokter menyampaikan status HIV saya reaktif (positif). Saya shock, tidak percaya. Saya merasa bersalah, seakan hidup tidak lama lagi dan takut ditinggalkan suami saat saya membuka status ini padanya. Namun, ternyata saya salah. Ketika menyampaikan status HIV saya ke suami, reaksi suami saya diluar dugaan, dia menerima dan mendukung saya apapun kondisi saya. Justru suami saya membantu mencari informasi tentang HIV melalui internet ataupun bertanya ke dokter. Suami juga kooperatif ketika dokter menyarankan dia dan anak saya untuk melakukan tes HIV. Hasil tes menunjukkan sesuatu yang tidak saya duga, anak saya dinyatakan positif, tetapi suami negatif.
Setelah pulang dari rumah sakit, kondisi saya memburuk dan mengalami depresi, kadang ingat kadang lupa. Sholatpun saya lupa setelah bacaan Al-Fatihah harus apa, sampai diulang-ulang pun tidak ingat. Melihat kondisi saya seperti itu,suami melakukan konsultasi dengan konselor RSUD Sleman yang kebetulan seorang psikolog. Dia menganjurkan agar saya bisa mendapatkan dukungan dari orang terdekat atau saudara yang biasanya menjadi teman berbagi cerita saya. Akhirnya suami saya menceritakan kondisi saya pada tante terdekat saya. Walaupun tante saya shocked dan marah tapi masih mau memberi dukungan meski hanya lewat SMS. Hal itu membuat kondisi saya sedikit membaik.
Meski saya mendapatkan tes HIV di RSUD Sleman, namun karena saat itu belum melayani pengobatan HIV, akhirnya saya dirujuk ke RSUP Sarjito. Suamilah yang mengantar saya ke RSUP Sarjito untuk mendapatkan pengobatan ARV (Antiretroviral). Saya harus menjalani cek CD4 untuk mengetahui jumlah sel darah putih yang diserang virus. Saat itu CD4 saya 10 Hb 7. Dokter menyarankan saya melakukan transfusi darah karena syarat untuk memulai ARV, Hb harus diatas 11. Saat mau transfusi darah, saya mengalami demam sehingga transfusi harus ditunda sampai suhu normal. Setelah mendapatkan transfusi darah, Hb saya diangka 15 dan saya diperbolehkan pulang.Dokter melakukan observasi lanjutan dan ternyata saya sakit tuberkulosis (TB). Saya pun diberikan Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Beberapa hari minum obat TB, saya mual muntah parah dan saya dibawa ke RSUP Sarjito untuk menjalani observasi pengobatan TB. Hasil laboratorium menunjukkan SGOT SGPT saya naik sehingga pengobatan TB dihentikan 1 minggu. Evaluasi pengobatan TB saya tidak hanya sekali, berulang sampai 3 kali. Setelah evaluasi ketiga, ternyata saya tidak bisa minum OAT tablet merah sehingga dokter mengganti dengan obat yang pecahan.
Di tengah menjalani pengobatan TB dan kondisi saya belum pulih, anak saya ngedrop dan harus dirawat di rumah sakit. Dia sempat mendapat perawatan selama 18 hari sampai akhirnya takdir berkata lain. Saya harus kehilangan putraku karena kondisinya semakin memburuk. Saat itu dalam usia 2 tahun 5 bulan, berat badannya hanya 6,8 kg dan infeksi oportunistik atau penyakit penyerta yang muncul sudah menyerang otak. Kejadian ini adalah situasi terberat buat saya dan suami, kehilangan anak yang memang dari umur 6 bulan bolak balik rumah sakit.
Saya sempat terpuruk dan tidak ada semangat lagi. Satu bulan saya mengurung diri dan tidak mau bersosialisasi dengan dunia luar, sampai saya diingatkan dan mendapat ultimatum dari suami.
Kalau kamu seperti ini terus, kapan akan sehat? Bagaimana janjimu pada putra kita, kamu kan janji mau kuat dan berjuang dari semua ini? Kita masih bisa punya anak yang sehat tidak terinfeksi HIV asalkan kamu sehat. Ayo bangkit dan semangat! Kita hadapi semua ini sama-sama, kamu tidak sendiri, ada aku yang akan selalu support kamu.
Mulai saat itu, saya mulai memberi afirmasi pada diri sendiri bahwa saya harus tetap semangat dan berjuang, saya tidak boleh menyerah. Setelah pengobatan TB berjalan 2 minggu, saya mulai mengkonsumsi ARV dengan jenis rejimen Duviral Efavirent. Alhamdulillah tidak ada efek samping dengan ARV. Setelah 2 minggu dan dilakukan evaluasi, CD4 saya naik 100%. Pengobatan pun berlanjut.
Setelah satu tahun pengobatan dan CD4 saya di atas 300, saya dan suami mulai merencanakan untuk memiliki anak lagi. Kami mulai dengan mencari informasi yang benar tentang kehamilan pada perempuan HIV positif. Kami mencari dokter obgin yang biasa menangani ibu hamil dengan HIV. Mendapatkan dokter obgin yang direkomendasikan oleh konselor RSUP Sarjito, kita membuat janji untuk melakukan konsultasi.
Saat konsultasi, kami sudah menyiapkan beberapa pertanyaan, di antaranya: apa saja yang harus dipersiapkan untuk merencanakan kehamilan, bagaimana agar saya tidak menularkan HIV ke anak dan suami, kelahiran dengan proses seperti apa yang harus dilakukan dan makanan apa yang nanti diberikan ketika anak sudah lahir, apakah ASI atau susu formula?Jawaban dokter yang penting untuk merencanakan memiliki anak, yaitu Viral Load atau jumlah virus dalam darah tidak terdeteksi dan tidak ada infeksi oportunistik.
Saya pun melakukan tes VL dan hasilnya tidak terdeteksi. Melihat hasil itu, dokter mengijinkan saya untuk memulai program kehamilan (promil). Kami memulai promil dan saya positif hamil. Selama proses kehamilan tidak ada kendala. Memasuki minggu ke-36, saya melakukan cek VL untuk menentukan proses persalinanya. Hasil VL saya tidak terdeteksi dan saya diperbolehkan melahirkan normal. Anak saya pun lahir dengan sehat pada bulan Agustus 2015 di RSUP Sarjito melalui persalinan normal. Meski anak yang lahir dari ibu HIV positif bisa mendapatkan ASI, tetapi kami memutuskan untuk memberi susu formula sebagai nutrisinya. Bayi saya minum profilaksis untuk pencegahan HIV. Setelah usia 6 minggu dia menjalani tes Early Infant Diagnosis (EID) dan hasilnya tidak terdeteksi. Bayi saya tumbuh sehat dan tumbuh kembangnya bagus. Di usia 24 bulan,anak saya menjalani tes antibody HIV dan hasilnya non reaktif atau negatif.
Mengetahui anak saya sehat tidak tertular HIV, begitupun dengan suami, saya semakin semangat dan saya bisa membuktikan pada keluarga bahwa saya tidak menularkan HIV ini pada mereka. Sayapun mulai aktif mengikuti pertemuan dengan kelompok dukungan sebaya. Saya menjadi lebih paham informasi tentang HIV, jenis ARV dan efek sampingnya. Saya mulai berani untuk berbagi dan memberikan dukungan pada teman-teman yang baru mengetahui status HIV-nya saat mengambil ARV di layanan kesehatan.
Saya juga bergabung dengan Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), mendapatkan kesempatan untuk menghadiri beberapa acara di tingkat nasional, menjadi Petugas Penerima Pengaduan (P3) bagi teman Perempuan Dengan HIV (PDHA) yang mendapatkan Kekerasan Berasis Gender (KBG) dia area Yogyakarta. Sampai pada akhirnya saya mengenal CD Bethesda yang memberikan banyak ilmu dan pengalaman baru untuk saya. Melalui lembaga kesehatan ini, saya bergabung dengan Pita Merah Jogja. Saya mulai diberikan ruang dan kesempatan untuk berkembang. Sering diajak untuk berbagi pengalaman sebagai Orang Dengan HIV (ODHIV) untuk memberikan edukasi pada ibu-ibu PKK dan masyarakat luas. Banyak orang yang sudah saya temui, bisa menerima keberadaan saya.
Inilah saya seorang perempuan dengan HIV yang memiliki suami dan anak HIV negatif, berdaya dan bisa berbagi bagi sesama. Saya yakin dan percaya bahwa HIV yang ada di tubuh saya, tidak mengurangi martabat saya sebagai perempuan. Bagi teman-teman yang sedang berjuang dengan status HIV-nya, jangan pernah menyerah. Kalian tidak sendiri. HIV bukan menjadi akhir segalanya. Kalian masih bisa sehat dan berdaya, minum ARV-nya dengan disiplin dan jangan bosan.
Sumber: Tabloid Baristha, edisi 04/III/Maret 2024