Penyandang disabilitas sangatlah rentan menerima diskriminasi dalam ranah kehidupan sosial, hal ini diperburuk lagi apabila penyandang disabilitas tersebut juga memiliki status HIV/AIDS. Khususnya di kota Yogyakarta, temuan kasus ODHA difabel ini cukup tinggi dan hampir berbanding lurus dengan angka kasus putus obat (Lost to follow up) dalam komunitas ODHA difabel saat sudah mengetahui status HIV-nya. Hubungan yang berkembang antara HIV/AIDS dan disabilitas cukup memprihatinkan karena mereka memiliki resiko yang juga cukup tinggi tertular HIV/AIDS, terlepas dari bukti peningkatan resiko ini, penyandang disabilitas jarang dilibatkan dalam kebijakan terkait HIV/AIDS oleh pemerintah, dan juga terbatasnya petugas layanan kesehatan maupun petugas lapangan yang menjadi pintu awal dalam melakukan komunikasi terkait program pencegahan penularan dan informasi tentang kesehatan seksual-reproduksi khususnya untuk ODHA difabel bisu tuli, sedangkan golongan ODHA difabel dengan keterbatasan wicara dan pendengaran ini bahkan untuk berkomunikasi lewat tulisan saja terkadang cukup sulit untuk dipahami oleh orang awam yang berujung miskomunikasi. Dilapangan, contoh keterbatasan satu dengan lainnya ini saling berkesinambungan dan masih saja terjadi hingga sekarang.
Skema kasus lain pada situasi penyandang disabilitas dengan HIV/AIDS ini diperburuk lagi dengan sejumlah hambatan pendidikan dan sosial yang mengurangi keterlibatan mereka untuk berkegiatan dalam masyarakat, dipadukan dengan stereotip, sikap dan mitos yang diskriminatif tentang penyandang disabilitas dan seksualitasnya menyebabkan mereka seringkali kesulitan dalam mengakses informasi karena format yang tidak mudah dipahami atau digunakan.
Sebagai bagian dari layanan HIV/AIDS, tentunya juga tidak mudah bagi petugas lapangan dan kesehatan untuk menjangkau komunitas disabilitas dikarenakan ketertutupan akan aktifitas-aktifitas beresiko yang mereka lakukan, temuan kasus ODHA difabel usia remaja kian hari juga semakin meningkat sedangkan perempuan dan anak penyandang disabilitas sangat rentan terhadap kekerasan atau pelecehan seksual, karena mereka lebih mungkin untuk dilecehkan, dipinggirkan dan menerima diskriminasi daripada populasi non-disabilitas.
ODHA difabel sebagian besar diabaikan dalam penanggulangan kasus HIV/AIDS, untuk mengatasi hal tersebut memang dibutuhkan komitmen untuk memastikan bahwa semua orang mempunyai porsi yang sama dalam mengakses informasi, pengobatan dan perawatan kesehatan khususnya terkait HIV/AIDS.
Mengintegrasikan kebutuhan khusus ODHA difabel merupakan komponen penting untuk mengurangi tingkat penularan yang semakin memburuk. Kegagalan untuk memberikan informasi penting kepada penyandang disabilitas tentang HIV/AIDS berakibat pada meningkatnya tindakan marjinalisasi terhadap komunitas khusus ini.
ODHA difabel memberikan sebuah kerangka rancangan kebijakan atas persamaan hak dengan mereka yang bukan penyandang disabilitas untuk mengimplementasikan program pencegahan dan pengobatan terkait HIV/AIDS yang sama untuk melawan stigma, diskriminasi dan hambatan lain yang dihadapi oleh orang yang hidup dengan HIV/AIDS.